Bobot Ucapan Ulama tergantung Referensinya
Bobot Ucapan Ulama tergantung Referensinya
TANYA:
Manabi e ka’dintoh muncul isu dari tokoh kiayi karismatik yg mengatakan jangan ikut ikutan tentang nasab Baalawi kalau maulidnya terroh tak eteremaah ka’dintoh yg membuat ketakutan sebagian orang-orang untuk membahas tentang nasap. Bagaimana untuk menanggapi isu isu kadih ka’dintoh..?
JAWAB:
- Ucapan ulama sealim apapun kalau tidak didukung oleh dalil, maka ucapannya itu tidak ada bobotnya. Dalil itu ada Quran, hadits, atau kitab2 ulama. Kalaupun ada dalil, harus dilihat lagi apakah dalilnya itu relevan atau tidak dg yg dibahas. Ini pedomannya.
- Kyai karismatik belum tentu alim. Bahkan kyai yg dikenal sangat alim sekalipun di satu bidang belum tentu alim di bidang yg lain.
- Di Malang, anggota IKMAL setiap bulan ada program musyawarah kitab dan bahsul masail. Saya wajibkan agar jawabannya memakai kitab-kitab fikih kelas menengah ke atas yg biasanya dalam kitab-kitab tersebut selalu menyebut dalil Quran, hadits dan kitab-kitab ulama lain. Ini agar peserta musyawarah terbiasa dengan tradisi ilmiah: bahwa ulama sekaliber Imam Syafi’i pun ketika berpendapat harus mengeluarkan dalil Quran, Hadits sahih, dll. agar ucapannya/tulisannya memiliki bobot ilmiah.
- Selama ini kita terbiasa menerima ucapan seorang kyai sebagai suatu kebenaran. Ini tradisi yang buruk. Kyai itu manusia. Bukan Nabi. Ucapannya dinilai memiliki bobot apabila didukung dalil/referensi. Kalau tidak ada dalilnya, maka ucapannya itu sama dengan ucapan orang awam yang kebenarannya itu 50:50.
- Kalau secara nasab Baalwi tidak tersambung ke Nabi berdasarkan ilmu nasab dan DNA, maka mereka berdosa besar kalau masih tetap mengaku dzuriyah Nabi. Dan kita berdosa besar kalau masih mendukung pengakuan mereka karena menolong pendosa melakukan dosanya. Kalau kita tetap berteman itu tidak masalah tapi dalam hati harus diyakini bahwa mereka bukan dzuriyah Nabi.