Spirit Pluralisme Bangsa Indonesia
Spirit Pluralisme Bangsa Kita
Pesta demokrasi baru saja usai. Begitu juga penghitungan suara. Capres Susilo Bambang Yudoyono(SBY) secara resmi telah keluar sebagai pemenang dg cukup mutlak mengalahkan presiden berkuasa, Megawati Sukarnoputri. Kedua figur pemimpin tertinggi bangsa ini telah menunjukkan sikap mereka sebagai negarawan: pihak yg menang tidak terlalu berlebihan menampakkan kemenangannya, di sisi lain pihak yg kalah mengakui secara ksatria kekalahannya. Dalam istilah Thomas Friedmann, kolumnis harian The New York Times, kedua capres kita telah menunjukkan sikap “magnanimous in victory, graceful in defeat”. Suatu sikap yg biasa dimiliki seorang negarawan sejati.
Apa yg membuat SBY menang dan Megawati kalah? Banyak faktor, yg dapat kita lihat dari berbagai analisa para pakar politik dalam negeri. Akan tetapi, dalam konteks kita, mahasiswa/masyarakat Indonesia di India, faktor terpenting adalah karena rakyat menganggap SBY
memiliki spirit dan wawasan pluralisme paling kuat.
Dalam situasi dunia yg dipenuhi konflik antarbangsa, antaragama, antarsuku dan terorisme ini, spirit dan wawasan pluralisme adalah mutlak diperlukan bukan hanya oleh seorang presiden yg menjadi simbol aspirasi rakyat di negara bersistem demokrasi, tetapi juga oleh
semua kalangan; tak terkecuali dalam hal ini adalah institusi PPI India, anggota PPI dan masyarakat India secara umum.
Pluralisme dalam istilah filsafat bermakna “a system that recognizes more than one ultimate principle”. Dalam kamus Webster’s Unabridged Dictionary, pluralisme berarti “a form of society in which a member of minority groups maintain their independent cultural traditions.” Poin utama dari pengertian kata “pluralisme” secara filosofis dan bahasa ini adalah sikap toleran, dan adanya pengakuan atas hak eksistensi kelompok agama atau suku lain yg masuk dalam kategori minoritas. Dengan mengakui keberadaan mereka, tuntutan moral selanjutnya bagi kelompok mayoritas adalah menghormati dan bahkan melindungi minoritas serta memperlakukan mereka sama di depan hukum dan tidak berlaku atau bersikap diskrimininatif dalam kehidupan sosial keseharian.
Seperti ucapan Thomas Friedmann di atas agar kita selalu bersikap “magnanimous” (artinya kira-kira: agung, berbudi luhur, bijaksana, caring, melindungi, dll) ketika kita “menang” dalam kompetisi, maka sikap magnanimous harus juga ditunjukkan ketika kita berada dalam posisi “kuat” terhadap kalangan yg berada dalam posisi “lemah”; seperti sikap kelompok pemeluk agama mayoritas terhadap pemeluk agama minoritas, kelompok suku mayoritas pada suku yg minoritas, dst.
Menurut Jusman Masga, ketua ppi yg sering khotbah di KBRI, ada sebuah Hadits Nabi yg juga mengacu pada sikap magnanimous tsb, yg bunyinya kurang lebih sbb: Ucapkan salam kepada sesama ketika bertemu. Dari yg naik unta (dalam konteks sekarang: yg naik mobil atau
lebih kaya) pada yg berjalan kaki; dari seorang pejabat pada rakyat; dari yg berdiri pada yg duduk.
Spirit magnanimity pluralisme ini konsekuensi logisnya akan mengarah pada spirit toleransi atas segala realitas perbedaan: perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan titik pandang, perbedaan afiliasi politik, bahkan perbedaan hermeneutik dalam melihat agama yg
dianut masing-masing pemeluknya. Siapapun yg memiliki spirit pluralisme ini tentunya tidak akan pernah berpikir untuk bersikap otoriter, arogan, memaksakan kehendaknya sendiri, dan menganggap ide dan opininya sebagai opini yg paling benar dan yg lain selalu salah, dsb.
PPI India sebagai institusi mahasiswa pemegang estafet eksistensi bangsa Indonesia harus memiliki semangat dan spirit magnanimity pluralisme yg tidak diragukan lagi. Dan dalam waktu yg sama, PPI hendaknya selalu mengingatkan pada siapapun yg lupa bahwa Indonesia itu menjadi sebuah negara karena adanya rakyat dari Sabang sampai Merauke dg berbagai macam agama, suku, bahasa dan kultur.
Namun demikian, kesadaran akan realitas ini baru akan berguna kalau kita mengimplementasikannya dalam sikap keseharian kita: dengan menjaga perasaan kelompok suku atau agama lain ketika kita berbicara dan berperilaku, khususnya di depan umum. Apabila sikap toleransi
pluralisme ini tidak dipelihara, bahaya laten perpecahan bangsa kita di masa depan bukanlah sekedar khayalan belaka. Di sisi lain, sikap tidak toleran dari kalangan mayoritas (khususnya mayoritas agama atau suku) hanya akan menunjukkan betapa kerdil dan piciknya kalangan ini.
Pada waktu yg sama, kalangan minoritas (suku maupun agama) hendaknya juga bersikap quid pro quo atau resiprokatif. Bersikap graceful dan tidak selalu bercuriga pada yg mayoritas. Di sini, diperlukan adanya dialog dan keterbukaan guna menghindari kesalahpahaman yg salah satunya bisa dilakukan di milis ini.
Bagi kalangan generasi “tua” yakni masyarakat Indonesia di India, hendaknya juga tidak sungkan-sungkan untuk mengingatkan kami yg muda; sebagaimana kami juga suka mengkritisi sikap generasi tua apabila dianggap perlu. Akhirnya, selamat puasa Ramadhan bagi yg umat Islam di seantero India.
New Delhi, 8 Oktober 2004