Bayar Pajak? Apa Kata Dunia?
Apa Anda sudah punya NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)? Semoga singkatan ini tidak salah, ini juga tahunya dari iklan “Apa kata Dunia” di TV. Pertanyaan lanjutan: apa Anda sebagai pribadi, biasa membayar pajak? Membayar pajak di Amerika dan negara maju lain sangat umum terjadi. Tapi di Indonesia, kayaknya tidak begitu umum. Namanya juga “kayak”nya jadi tidak ilmiah. Mungkin saya saja yang belum punya NPWP dan belum pernah bayar pajak penghasilan. Tempo hari soal NPWP ini kembali masuk ke telinga saya saat saya ingin ngurus buat kartu kredit. Ternyata bagi “pengusaha amatir” seperti saya sulit bisa ngurus credit card (CC) kalau tidak punya NPWP, karena saya tidak kerja pada siapapun sehingga tidak ada laporan hitam-di-atas-putih berapa jumlah gaji saya.
Terpikir juga untuk ngurus NPWP ini, tapi saya sempat sedikit ragu. Kalau nanti saya bayar pajak, apa betul uang yang saya bayar itu masuk ke negara? Apa bukan malah bikin gembung perut pejabat pajak dan anak-bininya? Selain itu, saya juga berbagi sebagaian penghasilan saya buat fakir miskin setiap bulannya yang langsung saya berikan pada yang bersangkutan. Mungkin sikap saya ini cerminan dari krisis kepercayaan saya dan sebagian orang yang seperti saya pada lembaga-lembaga pemerintah ataupun yayasan sosial yang tidak dikelola secara profesional.
Kembali soal pajak, saya sejak awal ragu mau “berbakti pada negara” dengan cara bayar pajak, karena ya itu tadi: tidak atau kurang percaya pada muka-muka klimis di kantor pajak. Artikel yang ditulis Harry Sufehmi, mengutip tulisan di Jakarta Post, semakin membuat saya ragu:
Few people could afford to buy the latest BMW 5 car at the age of 27, no matter how hard they work. But, Amien, not his real name, can buy one easily. He’s a public official in one of the country’s most corrupt institutions: the tax office.
Officially, Amien, who has been employed as a Jakarta tax official for the past six years since graduating from the state-run accounting academy STAN, receives a monthly take-home salary of about Rp 3 million (about US$328). But he can easily make an additional Rp 500 million per year without even working for it.
Harry juga memuat tulisan komentar temannya yang lulusan STAN–almamater maling Kantor Pajak yang diulas Jakarta Post di atas–dalam posting seputar korupsi secara umum di Indonesia:
hehehe STAN, sekalinya masuk the Jakarta Post kayak gini beritanya.
Cuma mau share (kebetulan saya adalah alumni dari sekolah tinggi ambilduit negara ini) kalo yang dibilang “Amien” tentang dua kubu di DJP sudah menjadi rahasia umum di kalangan kami. Kayak Bush aja: either you with us or them. Banyak teman2 yang ikut terjerumus dan jadi AMKB (anak muda-kaya baru) tapi banyak juga yang terpaksa atau dipaksa pindah ke kantor2 atau bagian2 pelayanan pajak yang “kering”, atau malah keluar dari sistem.Kalo Pak Sumitro bilang bahwa 30% duit negara bocor, itu hanya dari sisi pengeluaran aja, dari penerimaan mah waLlahu ‘alam, kayaknya lebih besar.
Tanpa menafikan ada juga upaya DJP buat meminimalisasi korupsi (mis: Large Tax Office, online taxpayment system, etc) Mudah2an expose Jakpost ini jadi trigger buat civil society Indonesia untuk lebih kritis ke institusi penerimaan negara (bikin DJP watch atau Bea Cukai Watch misalnya)
Kalau memang Kantor Pajak biang maling, apa tidak sebaiknya iklan anjuran wajib pajak di TV itu kita balik aja gini:
Sudah Bayar Pajak? Aduh Goblog Banget Elo, Pake Bayar Segala! Apa kata Dunia?!