Korupsi dan Peluang Pendidikan

Oleh: A. Fatih Syuhud

Menurut Danarto (Media Indonesia, 4/2/05) Krisis
multidimensi sejak 1997 sampai 2004 telah melenyapkan
kekayaan rakyat sekitar 900 triliun rupiah (ini sama
dengan 3 X ABPN). Ini jumlah riil yg langsung diderita
negara. Jadi, bukan korupsi yg disebabkan oleh sogokan
atau uang pelicin yg dikenakan pihak birokrat/PNS
kepada rakyat/pihak swasta untuk berbagai keperluan
layanan; dari layanan kecil seperti pengurusan KTP,
legalisir ijazah, sampai yg besar seperti layanan
perijinan usaha, tender kontrak, dll.

Korupsi, seperti kita tahu, ada dua macam, pertama,
penyalahgunaan dana anggaran untuk keperluan yg tidak
semestinya atau mark-up dari kebutuhan riil. Kedua,
penarikan upeti pada rakyat yg membutuhkan layanan
atau bantuan. Kedua tipe korupsi ini sudah sangat
merata di Indonesia. Tak heran, lembaga pengamat
korupsi seperti Transparency International menempatkan
Indonesia dalam kelompok TOP TEN negara paling korup
di dunia. “Prestasi” yg semestinya membuat kepala kita
jadi tertunduk malu.

Malu bukan hanya karena kita menjadi bangsa paroki dan
tak beradab di mata dunia luar, tapi juga karena di
tengah kenyataan pahit itu kita masih merasa bangga.
Di sekolah, di kampus, dan di setiap pidato oleh
pejabat/birokrat, kita masih mendengar nyanyian merdu
yg paradoks: bahwa kita adalah bangsa yg relijius,
bangsa yg besar dan beradab, bangsa yg tahu sopan
santun, negara adil makmur, gemah roh loh jinawi, dll.

Kita mesti malu dg kenyataan yg paradoks itu karena
salah satu persyaratan mutlak sebuah negara yg ingin
maju adalah memahami betul kekurangan dan
kelebihannya. Berusaha memperbaiki kekurangan,
menghilangkan penyakit dan gejalanya, dan melestarikan
kelebihan serta meningkatkan potensi yg ada. Sense of
urgency, sense of anxiety dan sense of curiosity serta
sense of resiliency jelas faktor-faktor yg diperlukan
dimiliki oleh setiap individu bangsa: birokrat maupun
rakyat.

Retorika indah tapi paradoks dan ironis oleh siapapun
bukan hanya tidak diperlukan, tapi juga akan semakin
menenggelamkan kondisi terpuruk bangsa ini.

***

Di tengah pesta korupsi bernilai ratusan milyar rupiah
itu, kita melihat fenomena ironis. Jumlah penduduk
Indonesia yg miskin pada tahun 2004 bertambah satu
juta menjadi 37 juta orang (Suara Pembaruan, 29/1/05)
dari sebelumnya sebanyak 36.2 juta, yg berarti 16.6
persen dari total penduduk Indonesia.

Dalam konteks sosio-politik, fenomena paradoks ini
tidak aneh. Setiap negara yg level KKN-nya tinggi
selalu dibarengi dg gap kaya-miskin yg tinggi pula
plus lemahnya peningkatan rasio ekonomi. Begitu juga,
setiap negara yg level KKN-nya rendah, gap kaya-miskin
rendah, seperti realitas di negara-negara maju
dibarengi dg pertumbuhan ekonomi yg tinggi dan
konsisten. Ini bukan berarti tidak ada orang miskin di
Amerika atau Finlandia. Akan tetapi pembagian kue
ekonomi relatif merata. Dalam arti, meningkatnya
kekayaan kalangan ‘the have’ selalu dibarengi dg
peningkatan penghasilan ‘the have-not’. Sehingga,
bahkan pekerja kasar pun di negara maju dapat menabung
untuk membeli mobil dan berlibur di luar negeri di
musim vakansi.

Dalam perspektif manajemen, meratanya korupsi di
negara-negara berkembang seperti Indonesia ditimbulkan
oleh lemah dan tidak solidnya sistem manajerial;
terlalu banyaknya black-hole dalam undang-undang (UU)
dan peraturan pemerintah (PP), dll. yg membuat korupsi
menjadi begitu kondusif. Sekali korupsi itu dilakukan
oleh seorang birokrat, maka ia akan memiliki efek
domino: birokrat lain akan beramai-ramai melakukannya.
Dan itulah yg terjadi di negara kita. Setiap koruptor
akan selalu berusaha untuk “menularkan” dan membagikan
rejeki haramnya pada yg lain untuk alasan keamanan,
dan begitu seterusnya. Sehingga kaki-kaki korupsi
menjadi begitu menggurita dalam tubuh birokrasi.
Karena meratanya KKN, maka kalangan kecil yg “bersih”
pun menjadi parokial dan marjinal serta terisolasi:
sebuah paradoks ironis yg lain, di mana penjahat
menjadi “hero” dan hero menjadi penjahat dalam drama
realitas hidup birokrasi Indonesia.

Dalam konteks psiko-sosial, hobi korupsi disebabkan
oleh banyak hal: reposisi kemiskinan yg berakibat pada
ketamakan luar biasa, pandangan martabat diri
artifisial (tidak hakiki) yg didasari oleh pola pikir
materialistik, dll. Yg pada gilirannya mengarah pada
ketakpedulian atas akibat perbuatan terkutuknya pada
nasib negara, bangsa dan individu rakyat secara
keseluruhan.

***

Tidak ada obat mujarab yg akan membuat KKN di
Indonesia lenyap dalam waktu singkat. Setidaknya
selama orang-orang yg sama masih duduk tenang dan
berkuasa. Namun, satu hal yg mesti diingat buat para
koruptor –kelas teri atau kakap– yg membaca tulisan
ini: bahwa setiap rupiah yg Anda korupsi telah membuat
generasi muda semakin jauh pada akses pendidikan dan
kesejahteraan. Dan dg demikian, semakin jauh pula
prospek bangsa dan negara Indonesia menjadi maju dan
berjaya sejajar dg negara-negara lain. Dg kata lain,
semakin besar kemungkinan kita menjadi bangsa pengemis
yg selalu menggantungkan segalanya pada bantuan negara
lain.[]

India, 18 Feb. 2005

Korupsi dan Peluang Pendidikan
Scroll to top