Mendengar dan Belajar dari Kritik
“I have listened, I have learnt”
Kalimat di atas diucapkan PM Inggris Tony Blair setelah mendengarkan pidato Reg Keys, member of parliament (MP) dari partai Liberal Democrat hasil pemilu yg baru rampung beberapa hari lalu. Reg Keys mengkritik tajam Tony Blair yg dia anggap telah berbohong soal Irak dan mengakibatkan ayah Rey Keys meninggal di Irak.
Menarik dicatat bahwa saat Reg Keys mengecam Tony Blair, Blair berdiri persis di belakangnya. Di samping Blair, berdiri para pendukung Reg Keys dari partai Liberal Demokrat memakai topi bertulisan “BLIAR” (maksudnya, Blair Penipu!). Blair melihat semua ini dg sikap tenang, dan setelah pidato berapi-api Reg Keys selesai, Blair merespons singkat dg “I have listened, and I have learnt”. Kutipan kalimatnya ini pada besok harinya juga menjadi judul headline koran Inggris The Spectator (6/5/05).
Di Washington, beberapa bulan lalu, Presiden George W. Bush mengadakan jumpa pers di Gedung Putih. Salah satu hal yg ditanya wartawan adalah, “Bagaimana sikap Anda dalam menghadapi berbagai kritikan, terutama soal Irak dan ekonomi dalam negeri?” Jawaban Bush patut selalu diingat, “Kritik saya anggap sebagai part of the job. Sebagai pejabat publik, saya harus menerima dan mendengarkan kritikan dari siapapun.”
Persis besok harinya, saya mengikuti pertemuan dg Menteri Pertanian di Wisma Duta KBRI. Salah satu kalimat menarik yg relevan dg bahasan ini adalah saat dia menerangkan sejumlah alasan di balik kebijakan pemerintah menaikkan BBM. Pidatonya saat itu ditutup dengan, “Mahasiswa tahunya cuma ngomong.” Sayang, tidak ada waktu untuk tanya jawab saat itu, karena menurut Dubes Danillo Anwar, waktunya sangat sempit.
Beberapa bulan sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudoyon (SBY) saat ditanya hal yang sama dg pertanyaan yg diajukan pada Bush menjawab singkat, “I dont care!”
***
Dua sikap yg sangat berbeda antara Blair dan Bush di satu pihak, serta SBY dan Menteri Pertanian kita di pihak lain mewakili dan menggambarkan suatu tipikal budaya antara negara yg sudah terbiasa hidup dalam nilai-nilai demokrasi dg kultur negara kita yg sudah terlalu lama hidup di alam tirani, feodalisme dan aristokrasi.
Sistem demokrasi yg sudah mapan secara intrinsik (dg sendirinya) akan menciptakan budaya sikap yg sehat dalam tatanan sosial tidak hanya bagi kalangan pejabat tapi juga masyarakat. Nilai-nilai demokrasi yg sangat menonjol seperti liberty (kebebasan) dan equality (persamaan) apabila sudah mentradisi dalam masyarakat dan kalangan pejabat akan menciptakan sikap yg sangat ideal tidak hanya dalam hidup bernegara tapi juga bersosial seperti keterbukaan, kejujuran, kesederhanaan dan kerendahatian.
Sistem demokrasi sudah berjalan sekitar 5 tahunan. Sudahkah tradisi dan nilai-nilai demokrasi terserap dalam keseharian sikap kita?
Dalam konteks masyarakat Indonesia di India, saya melihat pejabat KBRI New Delhi justru lebih cepat beradaptasi dg tradisi demokrasi ini, dibanding kita yg mahasiswa. Dari beberapa fenomena keseharian, baik di lapangan maupun dalam diskusi yg berjalan di milis ini, tampak bahwa tidak sedikit dari mahasiswa yg masih sulit menerima dg lapang dada pada budaya demokrasi– khususnya dalam menerima kritikan. Tidak dapat menerima kritik ini akan berdampak tidak mau mendengarkan apa yg dikatakan si pengeritik, sebaliknya malah mempersiapkan “jurus andalan” untuk membalas. Ini tradisi kurang sehat.
Kalau kebiasaan sulit menerima kritikan ini sampai terbawa ketika kita jadi pejabat kelak, maka yg terjadi adalah pseudo-democracy (demokrasi palsu). Di mana sang pejabat dipilih rakyat, tetapi pada waktu yg sama tidak mau mendengarkan kata-kata rakyat.
Secara pribadi, banyak kebijakan politik Tony Blair yg tidak saya suka, terutama invasinya ke Irak. Tapi, saya sangat mengagumi pribadinya yg sangat rendah hati ketika dia mengucapkan “I have listen and I have learnt” itu.
Ironisnya, tidak sedikit para ulama, ustadz dan kalangan moralis lain yg rajin mengutip ayat Kitab Suci atau Hadist tapi bersikap arogan. Sikap arogan tidak harus dalam bentuk berjalan pongah dg dagu terangkat, tapi yg lebih faktual adalah ketika Anda masih sulit menerima kritik. Sulit “mendengar dan mempelajari” isi kritik. Memang semuanya perlu proses pembelajaran.
Dan belajar ‘mendengar dan mempelajari’ termasuk salah satu hal tersulit bagi sebagian kalangan yg tidak biasa melakukannya.[]
New Delhi, 16 Mei 2005