Al-Khoirot Institute of Islamic Studies, Malang, ID. WA: 0822-2667-4747

   

Semua Pejabat Korup sampai Terbukti Sebaliknya

Semua Pejabat Korup sampai Terbukti Sebaliknya

Tsunami, Krisis Kepercayaan dan Diplomasi Pro-Aktif

Acara satu jam TALKING POINT di BBCWORLD pada Sabtu sore (8/1/04) menghadirkan Dubes Indonesia untuk Inggris, Bapak Pratomo. Topik bahasan tentu saja seputar Tsunami, dana bantuan dan koordinasi dana itu supaya sampai ke tangan korban, dll. Acaranya LIVE dan
pemirsa di seluruh dunia yg ingin berkomentar atau bertanya bisa langsung menelpon tanpa dipungut biaya (collect call). Karena pulsa HP saya lagi ‘kesepian’ saya tak jadi ikut nimbrung di acara yg sangat menarik itu. Sebelum berkomentar soal isi diskusi, ada beberapa catatan yg ingin saya buat perihal penampilan DUBES KBRI London di acara tsb.

Keterangan gambar: Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H. (27 Agustus 1935 – 3 Juli 2001) adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya pada 3 Juli 2001.

Pertama, saya merasa ‘bangga’ dg kesediaan beliau tampil di acara tsb. Dari yg saya tahu, dialah dubes pertama kita di London — dan mungkin di seluruh dunia– yg pernah jadi tamu acara itu. Kedua, dia tampil meyakinkan dg bahasa Inggris yg lumayan dan kemampuan memberi komentar yg cukup diplomatis kendati terkadang kurang meyakinkan (unconvincing). Dari beberapa cerita rekan-rekan saya di Inggris, KBRI London sebelum ini selalu menolak permintaan wawancara BBC atau CNN. Ini berbeda dg negara ASEAN lain yg malah minta diwawancarai apabila negara mereka sedang memenuhi headline media dunia. Alasan penolakan biasanya seragam di mana-mana: lagi tidak di tempat, sedang main golf (tentu saja pada jam kerja), atau lagi ‘berhalangan’. Intinya, ada rasa tidak percaya diri kolektif diplomat kita yg saya tidak tahu sebab utamanya; apakah karena kelemahan bahasa Inggris (pejabat deplu mestinya yg paling pinter Inggrisnya dari yg lain), ketakutan salah memberi jawaban, atau kedua-duanya. Dalam konteks ini, kesediaan Dubes KBRI London kali ini patut mendapat apresiasi dan memberi preseden yg baik bagi KBRI lain.

Namun demikian, perlu kiranya langkah itu diikuti dg langkah lain yg lebih ‘agresif’. Misalnya, saat ini tsunami sedang memenuhi headlines media dunia, termasuk India. Ada baiknya kalau KBRI New Delhi juga menawarkan diri untuk diwawancarai TV India seperti NDTV, dll, bukan menunggu dipanggil. Ini salah satu momentum untuk melakukan diplomasi pro-aktif. Di lihat dari jumlah korban kita yg terbesar, coverage media soal tsunami di Aceh masih terhitung ‘kecil’ dibanding, misalnya, Thailand yg korbannya hanya sekian ribu atau Sri Lanka yg menduduki nomor dua terbesar korban tsunami setelah Aceh.

***

Dari sekian banyak penanya dari seluruh dunia di acara TALKING POINT itu, terdapat seorang wanita Indonesia yg dari suaranya yg lembut tampaknya berwajah rupawan. Namanya Ananda. Komentarnya cukup menarik. Ia mengatakan bahwa dana bantuan untuk korban tsunami dari berbagai penjuru dunia hendaknya tidak disalurkan melalui pemerintah. Menurutnya ada alternatif lain yg jauh lebih baik: (a) melalui lembaga-lembaga internasional; atau (b) melalui LSM lokal; dan idealnya (c) kerja sama antara LSM/institusi internasional dan LSM lokal.

Semua kita tahu, dalam situasi bencana yg sangat parah dan sangat luas semacam ini, institusi pemerintah adalah satu-satunya lembaga yg paling lengkap infrastrukturnya di segala bidang. Komentar dari Ananda itu semakin menggarisbawahi adanya krisis kepercayaan mendalam rakyat kita pada pemerintah. Apalagi pemerintah Aceh yg gubernurnya, Abdullah Puteh, lagi sibuk menghadapi skandal korupsi besar di pengadilan. Kalangan dermawan memberi bantuan jelas ditujukan untuk rakyat jelata korban tsunami. Bukan pada para pejabat yg korup. Dan dg kondisi pemerintah kita yg identik dg KKN, bagaimana dana bantuan itu akan terjamin sampai ke tangan yg berhak, bukan jatuh ke tangan para pejabat yg lagi haus uang haram itu?

Pemerintah memang perlu melakukan soul-searching serius dan mengambil langkah perombakan komprehensif untuk membangun kredibilitasnya yg hancur lebur di mata rakyat. Individu-individu pejabat harus memulai dari diri sendiri, tanpa perlu perintah atasan untuk berperilaku bersih. Manajemen birokrasi kita yg tak kondusif untuk hidup bersih memang sering menggoda pejabat untuk korupsi. Sebagai contoh, anggaran tahunan KBRI yg harus habis di akhir tahun dan kalau tidak dihabiskan akan mengurangi anggaran tahun berikutnya. Ini salah satu contoh yg ‘memaksa’ diplomat ‘membumihanguskan’ anggaran tahunan dg berbagai program mark-up. Baharuddin Lopa, almarhum, ketika menjadi dubes KBRI Riyadh (Saudi Arabia) sempat mengembalikan sisa anggaran tahunan itu. Semestinya sikap Baharuddin Lopa ini mendapat penghargaan nasional. Namun, apa yg terjadi? Hampir semua anak buahnya membencinya. Saya beruntung sempat berbicara langsung dg salah satu diplomat KBRI Riyadh di Mina, Saudi Arabia. Jadi ini bukan gosip. Saya jadi sempat berpikir, mengapa untuk menjadi pejabat bersih dan baik begitu sulit, begitu tidak kondusif di Indonesia? Dg kata lain, mengapa suasana birokrasi kita begitu kondusif untuk korupsi? Mengapa negara kita menjadi lima negara paling korup dari 150 negara dunia?

Sekali lagi, jangan salahkan Ananda. Apa yg ia katakan di acara TALKING POINT itu mewakili suara jutaan rakyat Indonesia. Ananda secara implisit seakan ingin mengatakan bahwa “semua pejabat adalah korup sampai terbukti sebaliknya”.[]

New Delhi, 10 Januari 2005

Scroll to top