Tips Cepat Maju dan Progresif
Sebagai anak dari keluarga miskin, saya kuliah S1 di Indo sambil cari tambahan sana sini untuk memenuhi sejumlah kebutuhan primer seperti langganan koran, membeli buku, rokok, apel (Inggris, apple), dll. Kerja sambilan itu cukup bervariasi, dari menyuplai kain batik Madura ke toko-toko, mengirim tulisan ke berbagai media (tapi jarang dimuat), jadi nara sumber seminar sampai memberi les privat bahasa Inggris dan bahasa Arab pada siswa SMA atau Aliyah.
Salah satu murid privat bahasa Arab saya bernama Aguk Irawan. Anaknya lugu, terkesan agak telmi dan suka jadi bahan ledekan teman-teman lain. Jelasnya, dia tidak termasuk dari tiga murid favorit saya. Dua tahun kemudian saya berangkat ke India dan tidak lagi mendengar kabar Aguk, sampai secara tak sengaja empat tahun kemudian saya bertemu Aguk di Saudi Arabia sama-sama ikut temus.Rupanya setamat Aliyah, Aguk meneruskan studinya ke Universitas Al Azhar, Mesir, mengambil jurusan filsafat dan kemudian pindah ke sastra Arab. Saat ini, Aguk yg lugu itu sudah menerbitkan tiga buku ontologi puisi yg diterbitkan LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Filsafat) Yogyakarta, lembaga think thank yg berafiliasi ke NU, di mana ia juga menjadi aktivis. Di samping itu, ia rajin menulis kajian dan resensi sastra di berbagai media ibukota dan daerah. Apa yg membuat Aguk yg lugu, pemalas dan telmi itu menjadi sosok energik, progresif dan potensial?
Dalam setiap acara senggang di Saudi waktu itu, saya sempatkan untuk selalu mengajak dia ngobrol apa saja, termasuk obrolan dari hati ke hati. Selain karena kangen, saya juga penasaran akan perubahannya yg sangat dramatik. Ada sesuatu yg “aneh” dalam dirinya: bicaranya yg berisi; humornya yg segar; retorika puitisnya yg sering mengalir begitu saja di tengah perbincangan; dan sikap independensinya dan wawasannya yg luas dalam memberi komentar atas suatu fenomena mutakhir atau figur tertentu. Tanda bahwa ia tidak hanya rajin BACA BUKU, tapi juga banyak mengasah otaknya untuk berfikir.
Dari rangkaian perbincangan selama temus itu, ada langkah-langkah sederhana–dan dg mudah dapat kita tiru–yg dia jalani secara sungguh-sungguh yg membuatnya maju seperti sekarang, sebagai berikut:
(1) Teman dan “lawan” adalah guru.
Setiap orang memiliki kelebihan, di samping kekurangan. Aguk tak segan-segan menimba ilmu pada siapapun di sekitarnya–secara langsung atau tidak langsung–, pada teman-temannya yg berusia jauh lebih muda; termasuk pada figur yg tidak dia sukai sekalipun.
Konsep ini tampak mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan. Terutama bagi mereka yg meletakkan ego “kebesarannya” berdekatan dg otaknya. Dg kata lain, untuk menjalani konsep ini, diperlukan sikap rendah hati (bukan rendah diri) yg solid. Pindahkan posisi ego ke perut atau ke dengkul, jangan di kepala. Supaya otak di kepala kita dapat berpikir jernih dalam melihat segala hal yg positif maupun negatif pada orang lain: kita ambil positifnya, dan buang negatifnya–dalam arti tidak perlu dibahas dan jadi bahan “serangan rudal balasan”.
Sikap rendah hati yg solid ditandai dg: (a) Tidak marah, bahkan senang, ketika dikritik oleh siapapun terutama dari bawahan; (b) selalu rela hati meneladani dan mengagumi sikap orang lain yg lebih baik tanpa memandang status jabatan atau sosial. Dg kata lain, tidak gengsi-an atau ke-GR-an. Orang yg gengsi-an atau ke-GR-an mungkin juga akan mencapai kemajuan, tapi lambat; (c) tidak berkilah atas kesalahan, kekalahan atau kelemahan diri. Salahkan diri sendiri. Jangan salahkan tim penilai ujian, kalau nilai kita anjlok. Jangan permisif ketika orang lain lebih hebat dari kita. Sikap excuse atau berkilah hanya akan menutup energi potensi maju dalam diri kita sendiri.
Jangan salah, sikap rendah hati di sini tidak ada hubungannya dg tampilan luar. Orang yg selalu menunduk, berkata lemah lembut dan selalu tersenyum tidak otomatis berarti rendah hati. Begitu juga, orang yg terkesan kasar sikap atau tutur katanya tidak berarti sombong. Walau umumnya seperti itu.
(2) Mengetahui Arah Tujuan dan Kelemahan Diri
Untuk maju, langkah pertama adalah tahu apa saja yg perlu dilakukan supaya maju menurut standar nasional atau internasional dan apakah kemampuan yg ada pada kita sudah mencukupi. Orang tidak akan bisa membuat rumah bagus, kalau tidak tahu apa saja yg diperlukan untuk membuatnya dan menyiapkan hal-hal yg diperlukan.
(3) Target Maksimum dan Minimum
Harus ada target maksimum dan target minimum yg jelas dan sesuai dg standar nasional atau, kalau mungkin internasional. Bukan target lokal.
Sebagai contoh, target seorang mahasiswa jurusan Sastra Inggris. Target minimum: mendapat nilai first division (supaya mudah jadi dosen). Target maksimum:
(a) Menulis buku; (b) Menulis puisi dan karya sastra lain dikirim dan dimuat di media dan nantinya dibukukan; (c) Kemampuan berbicara/menterjemah/menulis aktif dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia; (d) Menjadi se-populer dan seproduktif dan se-kritis Noam Chomsky, dst. Begitu juga buat mahasiswa sastra Arab, Ilmu politik, hukum, dll.
Tanpa memiliki target minimum/maksimum seperti di atas, kita akan kejangkitan penyakit kebanggaan semu dan norak: dapat first division atau bahkan second division saja bangga (memang perlu disyukuri, daripada tidak lulus), sementara masih banyak hal yg belum tercapai dari ukuran standar umum universal.
Demikian beberapa poin interpretasi dari hasil bincang-bincang saya dg Aguk Irawan, yg saya lihat sangat berhasil merubah karakter dirinya secara total dari pribadi lembek yg tak tahu apa yg harus dia kerjakan selain hanya mengejar nilai ujian menjadi sosok pribadi yg penuh vitalitas dan produktif berkarya sesuai potensi maksimum dirinya.
Empat tahun masa perpisahan saya dengannya. Dalam masa singkat itu, dia telah berbuat dan mencapai sesuatu yg jauh dari apa yg saya capai. Saya malu, tapi juga bahagia.
Perasaan yg sama, malu tapi bahagia, ingin kembali saya rasakan empat tahun lagi, saat saya ketemu mahasiswa India di sebuah acara jumpa alumni, di mana sayalah orang yg paling kecil pencapaiannya dibanding dg rekan-rekan semua yg dalam empat tahun ke depan telah mencapai target maksimum universal. Saat itu, kembali saya akan merasa malu, tapi juga bahagia melihat mahasiswa India yg berhasil secara akademis, banyak berkarya, enerjik, penuh vitalitas dan mendominasi di berbagai sektor kehidupan di Tanah Air. Semoga.***