Trend Baru Artis Indo: Charity dan Baca Buku!
Trend Baru Artis Indo: Charity dan Baca Buku!
Terus terang saya agak kaget mengikuti program CNN yg menayangkan wawancara dg Christine Hakim yg kata CNN ‘the most renowned actress in Asia’ (bukan hanya di Indonesia). Lebih kaget lagi setelah tahu bahwa Christine Hakim ternyata memiliki dua yayasan sosial. Satu bergerak di bidang pengadaan bantuan susu balita bagi anak2 miskin dan yg kedua membantu para guru SD yg tidak mampu.
Ini cukup mengagetkan karena pertama bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai bangsa yg dermawan, alih-alih artisnya yg suka berbaju dan berdandan seronok mengalahkan artis2 Hollywood dan tentu saja dg kumpul kebo dan drugnya. Kebiasaan hidup mewah identik dg tiadanya atau minimnya rasa sensitif terhadap kalangan yg kurang mampu.
Dalam hal ini, kita sangat kalah jauh dg orang2 di negara maju yg kalangan kayanya tak lupa selalu menyisakan sebagian hartanya untuk bantuan sosial atau keilmuan. Lihat yayasan2 terkenal seperti Ford Foundation, Fullbright foundation, dll yg bergerak di bidang pemberi bantuan beasiswa untuk mahasiswa berprestasi seluruh dunia. Kita bahkan kalah dg India. India, menurut survei di The Times of India, hampir sebagian besar kalangan yg mampu memberikan sumbangan pada kalangan yg tidak mampu, tentu saja menurut kadar kekayaan masing2. Sewaktu saya di Aligarh, saya pribadi pernah mendapat beasiswa RS.100 (seratus rupees) perbulan yg disalurkan via dosen saya. Setelah saya selidiki ternyata uang tsb. bersumber dari seorang pemilik toko yg tidak begitu besar! Nilai 100 rupees sebulan tentu tidak banyak, tapi saya dan mahasiswa lain yg menerima juga merasa sangat apresiatif terhadap itikad baik sang pemilik toko tsb. Di Indonesia, kebiasaan ini masih blom terjadi.
Kedua, saya mendapat berita dari rekan diskusi milis, Farid Gaban, redaktur pelaksana majalah Tempo, bahwa akhir2 ini ada kecenderungan para artis kita suka membaca buku. Bahkan menurut dia, banyak artis yg selalu ingin difoto dalam keadaan sedang membaca buku!
Walaupun hobi baca buku di kalangan artis kita itu kebanyakan karena trend, tapi tentu saja ini merupakan trend yg menarik dan positif, setidaknya dibanding dg trend cimengisasi, mabuk2an, etc. Dan ini jelas trend baru yg perlu dijaga kelestariannya.
Seperti kita tahu, apabila kita bandingkan antara perilaku bangsa Indonesia dg bangsa2 lain dalam soal kebiasaan membaca ini sangat jauh tertinggal. Kita lihat contoh yg mudah, saat2 melakukan perjalanan baik di darat (bus, atau kereta api) atau perjalanan udara (pesawat) selalu kita lihat banyak orang dari bangsa-bangsa lain (eropa, amerika, termasuk India) yg menggunakan waktu luang di perjalanan dg membaca buku; entah itu berupa buku serius atau sekedar novel fiksi. Pemandangan2 semacam itu tidak pernah kita lihat dilakukan oleh orang2 Indonesia.
Apa yg menyebabkan kita malas baca? Jawaban simpelnya: karena kita bangsa yg pemalas! Kumpulan orang2 pemalas dan patetis yg selalu ingin mendapatkan keuntungan (materi) dg tanpa harus bekerja keras. Namun menurut salah seorang rekan kita yg sudah menyelesaikan gelar Ph.D-nya di Aligarh University, yaitu DR. Mujab Mashudi (kakaknya Qisai), kemalasan dg lemahnya kreatifitas kita di panggung internasional adalah karena bangsa kita termasuk dalam kategori bangsa yg masih muda. Bangsa yg masih muda akan cenderung mengikuti tradisi awal sejarah umat manusia; bukan terbiasa membaca tapi berbicara; tidak terbiasa menulis tapi bercerita. Tidak terbiasa bekerja keras, tapi bermalas-malasan.
Betulkah analisa itu? Mungkin juga, setidaknya mengandung sebagian dari kebenaran. Namun, kalau kita terus mengikuti tradisi lama itu (berbicara, bercerita, berdongeng, dll) tanpa ada usaha untuk merubah menuju tradisi modern (membaca, menulis, menganalisa, berperilaku logis dan kerja keras), maka kita akan tetap menjadi bangsa yg selalu “muda” yg selalu perlu disuapin oleh bangsa2 yg lebih “tua” dalam berbagai aspek kehidupan yg kita butuhkan. Itu artinya kita akan selalu mengimpor segala hal dari negara lain: dari perangkat2 keras (mesin, teknologi, tenaga profesional) sampai perangkat2 lunak (ilmu, budaya dan segala trend budaya).
Charity (berderma) dan baca buku memang bukan kebiasaan bangsa yg peradabannya masih backward seperti kita. Tapi bukan berarti tidak bisa dirubah. Barat dan Jepang juga dulu seperti kita. Masalahnya mereka mau merubah diri, sementara kita belum mau memulai.
Siapa yg mesti memulai memimpin bangsa Indonesia menuju trend2 modern yg positif? Tentu saja kita semua, masyarakat Indonesia yg sudah dan sedang mengenyam bangku pendidikan perguruan tinggi.
New Delhi, 13 Oktober 2003