Mengapa Kaum Santri Tidak Toleran pada Perbedaan
SEPAKAT UNTUK TIDAK SEPAKAT ADALAH KUNCI PERSATUAN UMAT
Orang mengira bersatu itu adalah sama dalam semua hal. Itu tidak benar. Karena berlawanan dengan fitrah manusia seperti disebut dalam QS ِal-Hujurat 49:13.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.
Bersatu maksudnya adalah memberikan ruang untuk berbeda.
Sepakat untuk tidak sepakat. Tanpa ada rasa sakit hati dan benci.
Karena, dalam diskusi itu tidak harus menang dan kalah. Melainkan menyampaikan pendapat yang diyakini benar menurut perspektif masing-masing.
Intoleransi Kaum Santri
Sebagian santri tidak paham konsep ini sehingga membuat mereka tidak toleran pada perbedaan. Dan salah satu bentuk intoleransi itu adalah a) memaksa orang lain harus sama dengan pendapatnya; b) yang tidak sama dianggap “musuh”; c) dengan memberikan stigma atau label buruk pada yang berbeda. Seperti label PKI, Syiah, Wahabi, Khawarij, kafir, syirik, murtad, sesat, dll.
Santri Menjadi Toleran setelah Kuliah Sampai S3
Umumnya, santri yang tidak toleran pada pendapat yang berbeda adalah mereka yang tidak melanjutkan studinya ke jenjang universitas. Atau, melanjutkan studi tapi terbatas sampai S1. Saya melihat santri yang sudah masuk ke jenjang S2 atau S3 memiliki mindset yang berbeda. Dalam arti, dapat melihat suatu perbedaan secara lebih luas dan lebih terbuka.
Kalau ada santri yang sudah S3 akan tetapi memiliki sikap intoleran dalam menyikapi perbedaan, maka ada dua kemungkinan: a) faktor kepentingan pribadi atau kelompok terganggu sehingga bukan kebenaran yang dicari, atau b) tidak betul-betul menghayati hakikat penelitian yang sudah pernah dilakukannya selama menempuh jenjang S3-nya.
Padahal Imam Syafi’i saja bisa berbeda dengan gurunya, Imam Malik, dan berbeda dengan muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal dalam nuansa tetap saling menghormati dan saling mengagumi. Tanpa saling ad hominem (lihat: ad hominem)
Kata Imam Syafi’i:
«رأيى صواب يحتمل الخطأ، ورأى غيرى خطأ يحتمل الصواب»
“Pendapatku benar, tapi mungkin salah. Pendapat orang lain salah, tapi mungkin benar.”
Yang mengaku pengikut mazhab Syafi’i ada baiknya menghafal prinsip ini dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.