Taktik Pecundang dalam Berdebat: Ad Hominem
Dalam debat, diskusi dan polemik ada istilah AD HOMINEM. Yaitu, menyerang lawan debat, bukan mengkonter substansi debat.
Perilaku AD HOMINEM adalah tidak etis dan biasanya dilakukan oleh orang yang kalah debat karena kurangnya data dan referensi.
Teks di gambar ini mengingatkan agar kita tidak terjebak dan terpengaruh pada serangan AD HOMINEM atas lawan debat yang mengeritik pribadi lawan debat, bukan mengkonter fakta dan dalil yang diperdebatkan.
SANTRI Pondok Pesantren Al-Khoirot harus fokus pada argumen data ilmiah saat berdiskusi atau berpolemik, tidak terjebak pada perasaan suka/tidak suka, apalagi sampai pada level AD HOMINEM. Karena, VISI ALKHOIROT yang harus dipedomani para santri adalah KEPENTINGAN JANGKA PANJANG: menjunjung tinggi kebenaran berbasis keilmuan untuk menjadi ULAMA-ILMUWAN atau ILMUWAN-ULAMA yang berakhlak mulia. Bukan kepentingan jangka pendek.
KH. Syuhud Zayyadi selalu membiarkan putra-putranya untuk berbeda pendapat dengan beliau asal dalam koridor keilmuan (dengan argumen memakai data dan referensi).
Putra pertama beliau, Kyai Amin Hasan, pada saat muda dulu (sekitar tahun 1970-1980-an) bahkan sering berdebat berjam-jam dengan beliau untuk suatu topik. Dan itu tidak membuat beliau marah, malah saya melihat beliau sangat berbahagia setiap kali ada putranya mendebatnya dalam soal ilmu.
Sekarang ini ada sebagian santri yang demi membela dan menyenangkan guru atau orang yang dihormatinya rela melakukan apapun, termasuk mengorbankan akhlak mulia dalam bentuk melakukan AD HOMINEM pada lawan diskusi. Jangan sampai hal ini dilakukan oleh santri dan alumni Pondok Pesantren Al-Khoirot Itu berlawanan dengan prinsip pesantren dan muassis.
Berbeda pendapat tidak masalah asal disertai dengan data: baik data primer maupun sekunder. Dan menjauhi ad-hominem dalam bentuk apapun.
Mulai sekarang, kalau ada santri yang menyerang pribadi lawan debat, sebutlah Ustadz Ad Hominem. Begitu juga kalau ada lora, gus, kyai, buya, profesor …. 🙂